Naskah Drama Perhiasan

Posted on Updated on

Naskah adaptasi dari cerpen Pispot karya Hamsad Rangkuti.

Karya adaptasi oleh Destriyadi Imam Nuryaddin

Naskah pementasan Parade Hamsad Rangkuti Teater Zat 2019

 

Dramatic Personae

Pelaku

Korban

Saksi

Polisi

Polisi 1

Istri pelaku

 

KANTOR POLISI. RUANGAN TERBAGI DUA. RUANGAN PERTAMA SEBAGAI RUANG INTEROGASI DIISI DUA BANGKU DAN SATU MEJA, PELAKU DAN POLISI. DI SUDUT LAIN BANGKU PANJANG DIDUDUKI SAKSI DAN KORBAN. RUANG KEDUA SETENGAH DINDING, SETENGAH KACA.  TEMPAT PENCURI MENGGUNAKAN PISPOT. DI ATAS MEJA POLISI, ADA SECANGKIR KOPI. TALI DI LACI MEJA. WAJAH PELAKU BEKAS DIPUKULI

 

POLISI 1 DAN PELAKU DALAM RUANGAN. 

Polisi 1

Kenapa kau terus-terusan menunduk? Merasa berdosa? Atau ingin menangis?  Atau ingin pulang? Silakan, tapi tunggu beberapa tahun dalam penjara. Karena sebentar lagi kau akan mendekam di dalam penjara. Atau kau berharap aku akan kasihan dengan wajahmu yang babak belur itu? malah itu hukuman ringan untuk orang seperti kau.

Pelaku

(Memalingkan wajah) kenapa kau yakin kalau aku yang mencuri perhiasan itu. Padahal belum ada barang buktinya.

Polisi

Lihatlah wajah orang yang mengajakmu bicara, brengsek. Orang-orang di pasar telah melihat kau yang mencurinya.

Pelaku

Kau tahu kan yang namanya main hakim sendiri?

Polisi 1

Setiap orang bisa menjadi hakim dan orang yang bersalah memang harus dihukum.

Pelaku

Lalu apa gunanya polisi?

Polisi 1

Mestinya kau bersyukur kami tidak terlambat mengamankanmu, kalau tidak kau bisa-bisa mati dibakar. Kalau begitu kubiarkan saja kau dihakimi masa.

Pelaku

Mau mati ataupun hidup itu artinya sama saja. neraka dua-duanya.

Polisi 1

Hidupmu memang ditakdirkan ke neraka sepertinya.

Pelaku

Terkadang aku bingung jika berhadapan dengan kalian. Seperti berhadapan dengan tuhan, atau berhadapan dengan hantu. 

POLISI MASUK MEMBAWA KOPI

Polisi 1

Selamat sore. Silakan, Pak. 

Polisi

(Duduk) Ya. Sore. 

Polisi 1

Ini berkasnya, Pak.

Polisi

(MEMBACA BERKAS PENANGKAPAN, MENGHIDUPKAN ROKOK)

Polisi

Mana saksi dan korban?

Polisi 1

Masih di luar, Pak.

Polisi

Hadirkan mereka. Kita perlu keterangan dari mereka.

SAKSI DAN KORBAN MASUK. Baca entri selengkapnya »

Pendirianku

Posted on Updated on

Karya: Mochamad Fahriza

Diadaptasi dari Cerpen Ayahku Seorang Guru Mengaji Karya Hamsad Rangkuti

 

Pemeran:

  1. Ayah (Achmad)
  2. Ibu
  3. Anak (Hayim)
  4. Pak Sanusi
  5. Orang kaya (Anwar)

 

ADEGAN 1

MALAM HARI DI TERAS RUMAH. DIATAS PANGGUNG SUDAH ADA ANAK, BARU SAJA KELUAR DARI RUMAH, MEMBENARKAN LAMPU PETROMAKS, LALU DUDUK MENATAP KELUAR RUMAH. TIDAK BERSELANG LAMA AYAH KELUAR MEMBAWA BUKU ABSEN.

Ayah : Tak ada lagi yang datang nak?

Anak : Belum, Yah. Mungkin hari ini, hanya aku yang mengaji dengan Ayah.

Ayah : Tapi nak, sudah beberapa hari belakangan, murid-murid yang mengaji terus berkurang, bahkan sudah tiga hari ini, hanya kau yang mengaji dengan Ayah. Apa ada yang salah dengan cara Ayah mengajar?

Anak : Kurasa tidak, Yah. Jika memang cara mengajar Ayah yang salah, mungkin sudah dari dulu Ayah tidak punya murid.

Ayah : Lantas mengapa tidak ada yang datang?

Anak : Karena, hampir semua orang sudah memasukkan listrik ke rumah mereka. Termasuk orang tua dari murid-murid Ayah.

Ayah : Apa hubungannya, Nak?

Anak : Kini mereka lebih senang menonton pesawat televisi, dan mendengarkan ceramah melalui radio.

Ayah : Jika memang begitu… bagaimana aku mau mengajarimu sebagai guru mengaji, kalau muridnya pun tidak ada.

Anak : Tenang, Yah. Nanti juga mereka akan bosan menonton pesawat televisi itu.

IBU KELUAR RUMAH MEMBAWAKAN SECANGKIR TEH HANGAT, SERAYA MEMBALAS DIALOG ANAK.

Ibu : Apakah mereka juga nanti akan bosan tidur di kasur karet busa itu?

Ayah : Janganlah menyindirku seperti itu.

Ibu : Lalu kapan,Yah , orang-orang datang lagi memesan kasur buatanmu? Mana ucapan-ucapan memuji para pemesanmu? Tidak klop jadi pengantin kalau tidak tidur di kasur buatan pak Achmad! Malam pengantin terasa hambar (Ibu menirukan suara para pemesan).

Anak : Sekarang mereka tidak berkata seperti itu lagi, Bu.

Ibu : Nah, seperti apa kata mereka Hayim, tentang kasur baru itu? Coba tirukan!

Ayah : Cobalah, seperti apa? Ayah ingin melihatnya juga.

Anak : Sama empuknya dengan kasur buatan Pak Achmad! Enteng menjemurnya.

Ayah : Tapi, kasur yang kubuat, kapuknya tidak tanggung-tanggung!

Ibu : Kalo tidak berdua, tidak terangkat itu kasur..

Ayah : Ya… namanya juga dari kapuk, Bu.

Anak : Itu baru namanya kasur ya, Yah!

Ayah : Benar Hayim.

Ibu : Heh, Hayim! Sudah masuk sana, sudah larut juga.

Anak : Iya bu…

ANAK MASUK KE RUMAH. IBU MENDEKATI AYAH.

Ibu : Yah, sudah berapa kali aku katakan pada kau. Ikutlah bersamaku ke makam! Bantu aku menjual bunga rampai itu. Lebih baik kau beralih ke bidang penjualan bunga. Kadang-kadang saat mereka membeli bunga, mereka bertanya apakah di pemakaman ini ada juru doa.

Ayah : Lalu, apa jawabmu?

Ibu : Aku selalu menunjuk Pak Sanusi.

Ayah : Jawabanmu tidak salah.

Ibu : Tapi yah.. cobalah ambil alih tugas itu. Kau dan Pak Sanusi kan sudah bersahabat sejak kecil. Ia tidak akan keberatan berbagi rezeki denganmu, terlebih di kampung ini hanya kau dan Pak Sanusi yang pandai akan agama.

Ayah : Lantas, mau di kemanakan murid-muridku?

Ibu : Murid-muridmu sudah dirampas kemajuan zaman, dibutakan oleh pesawat televisi, dan ditulikan oleh radio-radio itu!

Ayah : (menghela nafas) Ayat-ayat suci bukan untuk orang yang mati. Tetapi untuk petunjuk bagi orang yang masih hidup.

Ibu : Dengar, Yah. Sahabatmu itu kini tidak dikenali lagi sebagai guru mengaji, tapi ia terlihat lebih sering membaca ayat suci dibanding denganmu.

Ayah : (Hanya terdiam)

Ibu : Bahkan dua hari yang lalu, Pak Sanusi menerima seekor kambing dari seseorang peziarah. Rupanya nazar orang yang memberi kambing itu diwujudkan. Itu karena doanya Pak Sanusi! Ia menjual kambing itu, lalu ia menjualnya kembali dan puluhan ribu ia dapatnya!

Ayah : Janganlah berkata seperti itu. Kau sudah terlalu sering membandingkan rezeki orang dengan rezeki kita, itu tidak baik.

Ibu : Aku juga sudah terlalu sering mengajakmu ke makam dan berjualan disana. Tapi kau selalu enggan, dan memikirkan murid-muridmu. Dan kini mereka semua tidak ada. Harus berapa kali lagi aku membujukmu agar kau mau ikut denganku ke makam, hah? (ibu seraya meninggalkan Ayah)

Ayah : (Meminum teh yang sedari tadi) Bu, tehnya ko tidak manis?

Ibu : Gulanya habis. (meninggalkan Ayah).

IBU MASUK KE RUMAH.

Ayah : Mengapa tidak beli bu?

Ibu : (Dari dalam rumah) Uangnya kupakai beli minyak petromaks itu. Pilihannya satu, mau minum teh yang hambar atau tidur dalam gelap!

Ayah : (Hanya terdiam)

AYAH MERENUNG DI BERANDA RUMAH MENATAPI LANGIT MALAM HARI, MUSIK DAN LAMPU MENDUKUNG SUASANA. SETELAH SEKIAN LAMA, AYAH MASUK RUMAH.

ADEGAN 2

SETTING BERGANTI PAGI. AYAH DI BERANDA RUMAH, ANAK DATANG.

Ayah : Sudah kau antar ibumu nak? Banyak orang yangn berziarah?

Anak : Masih pagi Yah, belumlah ada. Ada orang datang memesan kasur?

Ayah : Mulai pula kau ikut-ikutan menyindirku, cukuplah ibumu saja.

Anak : Iya, Yah. Ohiya, tadi saat aku lewat rumah pak RT, beliau sedang memutar kaset orang mengaji dalam mikrofon keras.

Ayah :Iya, Ayah juga sudah mendengarnya.

Anak : Kukira orang yang mengaji dalam kaset itu menjual suaranya yah.

Ayah : Jadi, kau menyuruh Ayah mengaji dalam kaset?

Anak : Kalau ada penawaran apa salahnya?

Ayah : Sudah bijak kau ya.

Anak : Yah… Zaman sudah berubah, sayang kepandaian ayah itu. Mungkin ibu benar, tidak ada salahnya kita mengaji depan nisan.

Ayah : (menatap kosong ke depan)

Anak : Astagfirullah, aku lupa. Ibu menyuruhku kemari, untuk memanggil Ayah ke makam sana, untuk menemani ibu.

Ayah : (menatap kosong ke depan)

Anak : Kebetulan Pak Sanusi sedang tidak ada. Pasti banyak yang membutuhkan juru doa disana. Ayolah, Yah.

Ayah : Ambilkan pakaian koko Ayah, dan buku yassiin di dalam.

Anak : (senyum sumringah) Baik, Yah.

AYAH MENUJU MAKAM. OUT. PERMAINAN LAMPU DAN MUSIK.

ADEGAN 3

PERGANTIAN SETTING SORE. IBU DAN AYAH MASUK.

Ibu : Begitulah, Yah, kali-kali ikut Ibu ke makam. Bagaimana tadi, Yah? Kulihat kau berada di beberapa batu nisan.

Ayah : Iya, Bu. Tadi memang cukup banyak orang yang berziarah, padahal ramadan masih jauh.

Ibu : Syukurlah kalo begitu. Semoga kelak kamu akan dikenal sebagai juru doa, seperti sahabat karibmu itu. Yah, belum adakah orang yang bernadzar memberimu seekor kambing? (ketawa kecil)

Ayah : Janganlah berniatan seperti itu, Bu. Tidak baik. Lagi pula, aku tidak berdiam diri setelah membacakan yasiin.

Ibu :Lalu?

Ayah : Aku nasihati mereka. Aku katakan bahwa Ayat Suci bukanlah untuk orang yang sudah mati, tapi untuk orang yang masih hidup, ayat itu dibaca dan diamalkan.

Ibu : Lantas, bagaimana respon mereka?

Ayah : Mereka hanya manggut-manggut saja. Namun ada satu peziarah yang terlihat paling khusyuk mendengar ceramah Ayah, Bu. Dia kehilangan anaknya satu tahun yang lalu. Ia sangat terpukul dengan kejadian itu.

Ibu : Siapa namanya, Yah?

Ayah : (berpikir) Namanya… kalau tidak salah, namanya Anwar. Iya, Anwar. Dia datang dengan anaknya.

Ibu : Ohh… tapi Yah, lain kali janganlah terlalu keras pada peziarah. Tidak semua orang mau mendengarkan ceramahmu. Seperti layaknya Pak Sanusi saja, baca yaasiin, mendoakan, lalu selesai dan menerima imbalannya.

Ayah : Aku kan hanya mengikuti maumu, namun dengan caraku, Bu.

Ibu : Iya-iya, Yah. Aku hanya takut ini hari pertama sekaligus terakhir kau menjadi juru doa. Baiknya aku masuk dulu.

IBU MASUK RUMAH. AYAH MERENUNG. PAK SANUSI DATANG.

Pak Sanusi : Assalamualaikum…

Ayah : Waalaikumussalam… Sanusi…

PAK SANUSI MENCOBA MENCIUM TANGAN AYAH, TAPI AYAH MENARIK TANGANNYA.

Ayah : Heh… kebiasaan kau Sanusi.

Pak Sanusi :Tak ada salahnya kan seorang murid, mencium tangan gurunya. (tertawa)

Ayah :Sudahlah, sudah. Marilah duduk-duduk.

Pak Sanusi : Tidak perlu lah Mad, aku mampir sekalian lewat saja. Sudah mau magrib pula. Ayah : Baiklah, ada maksud apa kedatanganmu kemari Sanusi? Tadi tidak kulihat kau di pemakaman.

Pak Sanusi : Oh itu. Kebetulan hari ini aku dipanggil mengaji di komplek seberang. Kudengar dari istriku, kau sudah mulai menjadi juru doa?

Ayah : Tak ada salahnya kucoba-coba kan.

Pak Sanusi : Nah gitulah Mad, temani aku di pemakaman sana menjadi juru doa. Selama ini aku rasanya tidak enak sendirian di sana, rasa-rasa seperti murid yang melangkahi guru (tertawa).

Ayah : (tertawa) Bisa saja kau Sanusi.

Pak Sanusi : Yasudahlah, Mad. Aku pulang dulu, sudah mau ke magrib. Assalamualaikum!

Ayah : Iya-iya, Waalaikumussalam.

TIDAK BERSELANG LAMA, AYAH MASUK. SUASANA, PERMAINAN LAMPU DAN MUSIK.

ADEGAN 4

SUARA JANGKRIK, SUARA-SUARA DI MASJID, MENANDAKAN MAGRIB TIBA. DATANG ANWAR.

Anwar : Assalamualaikum… Assalamualaikum…

IBU KELUAR

Ibu : Waalaikumussalam, ada keperluan apa ya kemari magrib-magrib?

Anwar : Benar ini rumah pak Achmad?

Ibu : Iya benar, bapak siapa ya?

Anwar : (gelisah) Boleh saya bertemu Pak Achmad?

Ibu : Iya, sebentar kupanggilkan. (masuk dan memanggil) Yah… Ayahh…

AYAH DAN IBU KELUAR RUMAH.

Ayah : Ini bapak yang tadi ziarah di makam kan, namanya… (berpikir)

Anwar : Anwar, namaku Anwar.

Ayah : Ohiya, Pak Anwar. Mari pak silakan duduk. Ada apa sebenarnya bapak datang kemari sendirian? Magrib pula.

Anwar : (jeda, memasang muka sedih, menundukkan kepala) Istriku meninggal, Pak.

Ayah, Ibu : Innalillahi wa inailaihi rojiun.

Anwar : Tidak ada yang dapat membacakan yaasiin di rumahku. Maksud kedatanganku kemari adalah untuk menjemput pak Achmad, dan membacakan yaasiin untuk istriku. Tolong aku dari musibah batin ini. istriku telah tiada. Tiba-tiba sekali. Cobaan itu datang bagaikan petir. Anak-anakku juga perlu mendengarakannya. Mereka hanya bisa menangis. Apakah pak Achmad berkenan?

Ayah : Baiklah-baiklah, aku akan kerumah bapak. Sebentar saya ganti pakaian dulu.

Ibu : Magriblah dulu disini, Yah.

Ayah : Orang yang telah meninggal harus segera disemayamkan bu.

AYAH MASUK KE DALAM RUMAH UNTUK GANTI PAKAIAN. TAK LAMA KELUAR KEMBALI.

Ayah : Mari pak, kita segerakan.

Orang Kaya : Mari pak, mobil saya di sana.

Ayah : Aduh, sebentar pak saya ada yang lupa. Duluanlah pak.

AYAH KEMBALI KERUMAH.

Ibu : Apa yang lupa, Yah?

Ayah : Panggilkan Hayim, Bu!

Ibu : Sebentar, Pak. Hayim…

ANAK KELUAR RUMAH

Anak : Ada apa, Bu?

Ayah : Nak kemarilah, ikut Ayah, ke rumah Pak Anwar. Ayo…

Anak : Aku malulah, kalau ke rumah-rumah orang kaya sebrangan sana.

Ayah : Nak kita dijemput! Bukan datang melayat. Mereka yang butuh kita. Ayo, Pak Anwar sudah menunggu.

Ibu : Ikutlah, Nak. Tak apa.

Anak : Iya, baiklah.

AYAH DAN ORANG KAYA OUT. TAK LAMA IBU MASUK KE DALAM RUMAH. OUT.

ADEGAN 5

LANJUT TIME SKIP, DIIRINGI MUSIK DAN PERMAINAN LAMPU. AYAH BEBERAPA KALI KELUAR MASUK PANGGUNG DAN RUMAH, KELUAR RUMAH DENGAN BAJU YANG BERBEDA-BEDA, DAN MASUK SELALU MEMBAWA BAWAAN YANG BERBEDA-BEDA. AYAH KELUAR. OUT. FADE OUT. FADE IN.

Pak Sanusi : Assalamualaikum… Assalamualaikum…

IBU KELUAR DARI RUMAH.

Ibu : Waalaikumussalam, eh pak Sanusi, mari duduk.(bersalaman)

Pak Sanusi : Ohiyaiya bu. Pak Achmadnya ada bu?

Ibu : Kebetulan lagi keluar pak. Emang ada apa ya?

Pak Sanusi : Oh, tidak. Mau silaturahmi dan ngobrol-ngobrol saja. Belakangan kan pak Achmad jarang kelihatan di sekitar pemakaman, Ibu juga sudah dua hari tidak jualan bunga. Jadi aku kemarin berkunjung, takut ada apa-apa.

Ibu : Oh seperti itu. Sekarang bapak sudah jadi guru ngaji di rumah orang kaya Pak. Hampir setiap hari dijemput pakai mobil oleh orang kaya itu, ohiya, namanya Pak Anwar. Selain itu juga,Pak Achmad memberi pelajaran agama kepada anak-anaknya Pak Anwar. Bahkan dia sampai disuruh mengajar ngaji juga di tetangga-tetangganya, sepertinya Hayim juga akan membantu mengajar di sana. Jadi ia sudah tidak punya waktu lagi untuk pergi ke makam. Dan perihal aku tidak jual bunga lagi, karena memang penghasilannya sudah sangat cukup, terlebih setiap pulang ia sering bawa bingkisan atau bebawaan dari orang kaya itu, Pak Anwar. Rezeki seperti ini lebih-lebih dari kambing Pak, hehe. (ibu mengatakan semua ini dengan nada seraya membanggakan dan membandingkan suaminya dengan pak sanusi, yang selama ini ia bandingkan dengan suaminya)

Pak Sanusi : MasyaAllah, syukurlah kalo begitu. Aku juga senang mendengarnya, berarti selama ini kekhwatiranku tidak benar adanya.

AYAH MASUK DENGAN MEMBAWA BINGKISAN, SERAYA AGAK TERKEJUT MELIHAT PAK SANUSI ADA DI PERKARANGAN.

Ayah : Assalamualaikum.

Ibu,Pak Sanusi : Waalikumussalam.

Ayah : Ada Sanusi ternyata…

Pak Sanusi : Ini orang yang kutunggu-tunggu (tertawa kecil).

Ayah : Haha, MasyaAllah, apa kabar…? Kemana saja kau? Lama kita tak jumpa.

Pak Sanusi : Kau yang kemana saja, lama tidak terlihat di sekitar pemakaman.

Ayah : Panjanglah ceritanya, mari duduk lagi. Bu ini bawa masuk ke dalam, sediakan lah minuman dan camilan untuk sahabatku ini (menyodorkan barang bawaan)

Ibu : Iya, Yah.

IBU MASUK KE DALAM RUMAH. OUT.

Ayah : Jadi apa maksud kedatanganmu kemari sahabat?

Pak Sanusi : Haha dasar kau. Jadi gini Mad. Maksud kedatanganku kemari adalah, mau mengajak sekaligus menawarimu naik haji bersamaku.

Ayah : MasyaAllah, yang benar Sanusi?

Pak Sanusi : Iya, Mad. Kebetulan orang tua murid yang kuajar mengaji di komplek seberang, mengajakku naik haji, dan melebihkan satu tiket. Dan aku tahu kamu lebih paham perihal ini. jadi aku bermaksud menjadikanmu pembimbing kami di sana nanti. Bagaimana, Mad?

Ayah : Iya aku mau Sanusi, aku mau! Ya Allah terima kasih. Terima kasih Sanusi (mengatakan dengan terharu suka cita)

Pak Sanusi : Syukur kalo begitu Mad. Segera kabari keluargamu, nanti kau kuajak ke rumahnya. Kalo begitu, baiklah aku harus segera pulang, ada tugas jadi imam magrib di masjid. Aku pulang dulu mad. Assalamualaikum .

Ayah : Iya-iya, waalikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, hati-hati sahabat!

AYAH DUDUK KEMBALI DI PANGGGUNG RUMAH, MERENUNG. DAN MERATAPI REZEKI DARI ALLAH YANG BEGITU LUAR BIASA. IBU MASUK MEMBAWA AIR DAN PISANG GORENG.

Ibu : Ehh, pak Sanusinya mana, Yah? Ini ibu sengaja gorengkan pisang (jeda) Yah, kalo ditanya tuh jawab jangan diam saja.

Ayah : (tidak menghiraukan pertanyaan ibu, masih dengan tatapan ke depan) Aku diajak ke tanah suci sebagai pembimbing mereka. Aku mereka minta untuk ikut bersama mereka.

Ibu : MasyaAllah Yah, bagus rezeki Ayah. Pak Anwar memang orang kaya yang baik, niscaya ia pasti akan mendapat rezeki yang lebih dan pahala yang banyak, sangat mulia niat pak Anwar (ibu mengatakan itu semua seraya memuji orang kaya tersebut)

Ayah : (berhenti dari tatapannya) Bukan bu, bukan dia yang mengajakku ke tanah suci.

Ibu : Hah? Lalu siapa, Yah?

Ayah : Pak Sanusi mengajakku, tadi dia datang kemari untuk mengabariku perihal itu.

Ibu : PAK SANUSI..?? (ibu langung terlihat lemas dan merasa menyesal dengan perkataan sebelumnya pada pak sanusi)

Ayah : Iya, memangnya kenapa, bu? (merasa bingung)

Ibu : Tidak apa, Yah. Maafkan aku. (menjawab lemas, tatapan kosong ke depan)

MASUK MUSIK SUASANA. LAMPU FADE OUT. TIRAI TURUN.

 

-TAMAT-

 

Minggu, 26 Mei 2019

Teater Zat.

Catatan Parade Hamsad Rangkuti

Posted on Updated on

Parade yang dipersembahkan Teater Zat tidak lain sebagai catatan obituari tokoh-tokoh seni dan budaya. Zat menuliskan catatan obituari tersebut dengan bentuk sebuah hasil dari proses panjang—walaupun sebenarnya terbilang pendek—yang telah dilalui. Tokoh yang dipilih tidak sembarang ambil. Masuk pada sebuah malam yang dingin, tidak di tengah betul lingkaran Zat pada saat itu, semua anggota ikut melingkar sekalian memutar air yang di beli di blok M karena kehausan oleh latihan yang bertubi-tubi. Mulailah satu per satu suara menyampaikan apa yang didapatkannya dari latihan malam itu, ada yang hanya memilih diksi yang berbeda tapi maksudnya sama, jawaban klasik, jawaban yang tidak membangun, sampai pada ujung suara. Lalu obrolan malam itu dilanjutkan dengan melemparkan satu wacana berproses kembali dengan bentuk yang berbeda, yang Zat namai dengan Parade. Pada proses kali ini Zat kembali mencoba suatu hal yang baru, yaitu alih wahana. Pada malam itu memang tidak sekali lingkaran langsung menemukan keputusan, malam-malam selanjutnya banyak opsi yang berdatangan dan cukup berdebat dalam menentukan siapa tokoh yang karya-karyanya akan dibawakan. Menyisihkan tokoh-tokoh yang lain bukanlah pekerjaan gampang, memikirkan bagaimana ke depannya dalam proses menjadi suatu hal yang penting bagi Zat, termasuk bagaimana proses alih wahananya. Sampai pada malam berikutnya barulah satu nama disepakati selingkaran penuh dan memberanikan diri mengambil tokoh Hamsad Rangkuti lewat cerpen-cerpennya yang memukau.

Bukan sembarang ambil seperti yang disebutkan sebelumnya, pemilihan Hamsad Rangkuti untuk dibawakan ke parade dikuatkan dengan beberapa alasan. Baca entri selengkapnya »

Review Pementasan Teater Parada : Nyai Ontosoroh

Posted on

Nyai Ontosoroh: Berangkat dari Emansipasi dan Ikhtiar-Ikhtiarnya
Oleh : Fajrin Yuristian

“Sabtu malam di 22 April 2017, perayaan Kartini masih harum namanya”
Kampus Ibnu Chaldun, Jakarta Timur menjadi tempat meriaknya momentum hari Kartini tersebut. Mengambil sekmen dari keberangkatan tokoh emansipasi wanita ini, Teater Parada mempersembahkan dengan bangga produksi ke-2 nya, yang membawakan lakon “Nyai Ontosoroh” sebuah adaptasi lepas dari novel “Bumi Manusia” karya Pramoedya Ananta Toer.
Tampak tak sedap jika saya hanya melihat posternya saja tanpa turut masuk ke dalam ruang sebenar-benarnya adegan dan sebenar-benarnya melihat apa yang terjadi dalam masa Nyai Ontosoroh, dalam kilas baliknya memaknai perayaan Kartini. Sebelumnya, memang telah terjadi keresahan yang mendalam di benak dan pikiran saya terhadap momen atau langkah apa yang seharusnya terbentuk untuk Hari kartini di masa yang kata orang sekarang adalah Kekinian. Telah disadari betul bagi saya akan peran Hari Kartini yang setiap bertambahnya tahun masehi, terbilang dari tahun saya lahir sampai sekarang, mengalami dinamikanya masing-masing. Entah ini dapat diartikan sebagai pergeseran makna sakral Hari Kartini atau memang hanya sebagai mobilisasi tiap-tiap masyarakatnya yang mau tidak mau harus kita terima, yang pengaruhnya bergaris lurus pula terhadap momentum kelahiran Kartini dan kelahiran Emansipasinya.
Waktu kanak-kanak, masa-masa 21 April menjadi salah satu hari paling menyenangkan bagi kita, sebab ada beberapa konten-konten acara seperti parade dan festival baju-baju daerah, lomba busana daerah, upacara peringatan Hari Kartini sampai perlombaan lainnya yang dibentuk untuk mengingat Putri Sejati kita. Seiring perkembangannya, dirasa atau tidak keresahan terhadap perayaan itu mulai terkikis. Sekarang, mudahkah kita menemukan konten acara yang tadi sudah disebutkan? Atau sekelumit pertanyaan apakah memang perayaan Kartini hanya sebatas parade baju daerah saja? Jika pun ada, masih luhurkah esensi sakral—memaknai pelopor emansipasi kaum perempuan itu?
Di layar kaca sekarang, gencar sekali kita dihadapkan pada cerita perjuangan kaum hawa yang menantang kejam zaman demi sesuap nasi dan atas nama perjuangan sikap emansipasi yang hanya diletakkan secara kemasan saja. Dari kedua masa yang saya upayakan untuk sebuah cerita yang timbul dari keresahan tersebut, adakah keterkaitan terhadap apa sebenarnya makna sebenar-benarnya makna dari nilai luhur emansipasi itu? Perjuangan mengejar kesetaraan gender, perlawanan terhadap ketidakadilan, atau apakah memang emansipasi lahir dari situasi pada masanya yang datang dari hati yang tulus bagi penggeraknya? Emansipasi sendiri hadir pada masanya oleh Kartini untuk menyelamatkan kaum perempuan dari tindakan semena-mena yang keluar dari garis keluhuran bersikap dalam hidup yang sejahtera dan penuh keadilan. Adapun anak makna dibawahnya seperti penyetaraan gender, perjuangan melawan kaum tirani dan perjuangan untuk mendapatkan pendidikan yang layak sehingga membuat kaum perempuan memiliki kecerdasan dalam kehidupan sosial, merupakan nilai lebih yang bisa didapatkan dari simbol emansipasi itu sendiri. Kartini, dalam perjuangan mengibarkan bendera emansipasi tentu tidak semudah menuliskan kata emansipasi itu di kertas putih. Tantangannya serupa bilamana kartini menuliskan kata emansipasi itu pada kertas buram dengan tinta hitam. Penolakan dari berbagai kalangan dilancarkan akibat ada efek serta resiko anggapan bahwa sikap emansipasi bisa menggeser tradisi perempuan dari kodratnya dunia. Namun, pengalaman Kartini akibat terkungkung dalam tradisi “Pingitan” juga membuat semangat yang terus membakar akal dan pikirannya untuk pengibaran bendera emansipasi. Lalu adakah Kartini-Kartini lain dalam sebuah peradaban Indonesia?
Berangkat dari keresahan di atas, saya datang ke Aula Bahder Johan, Kampus Ibnu Chaldun, untuk bergabung dengan keresahan dari teman-teman lain. Nyai Ontosoroh mungkin sudah banyak dikenal oleh kalangan masyarakat pembaca atau pengagum karya-karyanya Pram. Ontosoroh, merupakan sekelumit nama dan cerita yang membuat hati bergeming atas fragmen-fragmen perjuangan di masa kolonial Belanda. Tak ayal, amatlah pantas jika scene Nyai Ontosoroh ini untuk di parafrasekan atau di alih mediakan ke dalam bentuk naskah teater hingga kita bisa menikmati kisahnya secara visual langsung ke dalam subjek yang memerankannya.
Begitulah yang dipilih Teater Parada UIC dalam momentum hari Kartini ini. Pementasan Nyai Ontosoroh berkisah secara mendalam bagaimana perjuangan seorang perempuan dalam menolak pembentukan makna “Nyai” yang diidentikkan dengan hal yang tidak lazimnya bagi kehidupan manusia yang baik budinya. Selain itu, penentangan terhadap sikap semena-mena dari kaum yang lebih tinggi, sehingga bisa mempermainkan kaum di bawahnya, apapun caranya dengan tidak menggunakan sikap yang semestinya antar sesama. Tuntutan keadilan terus dilontarkan oleh Nyai Ontosoroh bahwasanya ia sebagai seorang perempuan dan turut membawa simbol kaum pribumi, juga memiliki martabat yang sama dengan manusia sejatinya, yang tidak bisa dipermainkan begitu saja.
Adapun 3 pokok ide tersebut yang saya dapatkan dari pembacaan serta pemahaman pementasan lakon Nyai Ontosoroh ini. Dengan durasi sekitar 50 menit, Parada berhasil mementaskan secara apik, yang mungkin sesuai dengan proses menuju hari itu. Terlebih, di penghujung berakhirnya pementasan, kita baru difokuskan pada kegetiran Ontosoroh dan keluarganya melalui beberapa kesaksian atas apa perlakuan kaum Tirani terhadap pribumi, sehingga mengundang penonton untuk masuk ke dalam sukma kepedihan di masa itu, sambil berkaca apa masih ada perjuangan mereka yang harus kita perjuangkan di masa sekarang.
Di luar teknis-teknis pementasan yang sekiranya bisa untuk lebih baik kedepannya, Parada berhasil mengobati kegelisahan ini, atas ikhtiar-ikhtiar saya menemukan jawaban dari makna sakral Emansipasi yang di pelopori oleh Raden Ajeng kartini, sang Putri Sejati, yang harum namanya sampai sekarang. Masalah-masalah seperti terlalu fokus dan mendalamnya interpretasi terhadap naskah sehingga berpengaruh terhadap detail-detail pentas yang semestinya tidak harus “diletakkan”, yang mengakibatkan kemubaziran unsur dalam cerita. Mengutip dari Bang Budi Ketjil, seorang senior pegiat teater, bahwasanya “jangan terlalu mendalam dalam permainan interpretasi, untuk itu sebabnya berhati-hatilah agar tidak menganggu pementasan”.
Setelahnya, permasalahan kesenjangan dan kematian pada istilah “satu detik sampai dua detik” dalam pementasan juga butuh dilihat dan dikritisi. Ketika penonton sudah fokus terhadap jalannya cerita dan mulai masuk, maka hindarilah adanya kesenjangan dan hilangnya ruang dan waktu dalam cerita, baik dalam teknis keluar masuk pemain, artistik sampai dialog-dialog yang dapat saling mematikan sesama aktor itu sendiri. Jika berbalik pada argumen seorang filsuf Yunani, Aristoteles, bahwa ada elemen-elemen penting dalam terlaksananya pementasan teater yang berhasil, yakni harus memerhatikan kesatuan ruang dan kesatuan waktu dalam pengadeganannya. Kedua hal tersebut dirangkum dalam istilah Trilogi Aristoteles dalam pemahaman ilmu teater..
Selebihnya, suksesi Parada dalam momentum sakral perayaan Kartini ini berhasil karena semangat yang terus berdatangan pada tiap-tiap subjek di dalamnya, sampai semangat itu juga menular kepada siapa saja yang hadir dalam ruang di sabtu malam itu. Setelah bincang-bincang pun, saya pulang dengan nafas yang baru terhadap gelisah dan resahnya saja terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tadi sudah saya sampaikan.
Kartini memang datang sebagai sebuah nama yang terus harum bagi bangsanya. Emansipasi tidak semata-mata datang dari akal dan pikirannya saja, melainkan ada hati-yang benar-benar tulus demi keluhuran bangsanya di masa mendatang, yang sekarang telah kita pijaki sekarang. Bagi kaum perempuan seperti Nyai Ontosoroh, emansipasi memang menjadi dasar dalam pergerakan dan perjuangan. Dan pejuang perempuan-perempuan lain yang selalu berangkat dengan kesakralan emansipasi di hatinya, sampai pada ikhtiar-ikhtiar di tiap masa. Hingga pada titik sampainya dalam merebut keadilan, kehormatan, dan kesejahteraan, meski tidak tahu apa yang sebenar-benarnya terjadi di pintu selanjutnya. Akhir kata, Kartini dan emansipasi bukan hanya lahir untuk kaumnya, tetapi juga untuk keluhuran bangsanya. Yang jelas seperti Nyai Ontosoroh,
“Kita telah melawan, Nak Nyo, Sebaik-baiknya, Sehormat-hormatnya”
Terima kasih, Parada, Aku padamu!

Tangerang, 25 April 2017

Cerpen : Abang

Posted on

Abang
“Kaulihat ndak pasir tu, Dek?”
“Macam nasi, Bang.”
“Betul, tapi abang suruh Kautengok aja, bukanlah untuk Kaubayangkan jadi macam nasi.”
“Tapi Abib lapar, Bang.” Memandang pasir dan melepaskan harapannya.
“Kau nampak tak air laut tu, Dek?”
Abib menangguk dan tatapan matanya melihat air laut seperti ingin disesapnya. Jakunnya bergerak selaras ludah ditelan pula.
“Taklah, Abib ndak bayangkan air ni bisa diminum, Bang.”
Abangnya menyuruh Abib untuk membayangkan jika air laut itu bisa diminum. Betapa puasnya mereka bisa menikmatinya. Dijadikan minuman dengan rasa yang berbeda-beda. Tapi ia tahu itu hanyalah gurauan di antara kesedihan. Bapaknya pergi melaut tak pulang-pulang, Mak Abib yang sangat disayang Bapaknya itu histeris tak kenal raga. Laut Cina Selatan memakan yang ingin mencari makan. Kala itu musim utara. Tak ada jalan tak melaut, tak ada lagi kalau bukan dari laut walau sedang mautnya. Ibunya tak lagi ada, bunuh diri selepas seminggu berjumpa dengan arwah Zainal, suaminya. Abib tertawa-tawa ketika air laut itu menyentuh kaki dan menyejukkan lalu turun surut lagi.
“Bib, Kau mengapa bercakap seorang-seorang ni? Tak usah Kau tunggu lagi Abang Hamlin Engkau tu.”
“Bang, dia tak nampak ke Abang di sini?”
“Nampaklah, Dek. Iya tak, Bang?!” Pandangannya menatap tajam ke mata Bang Imran yang baru saja naik dari laut.
“Budak gila, siapa yang nak layan!”

Destriyadi Imam Nuryaddin
Jakarta 23 April 2017

Cerpen : Kamar Dosar

Posted on

Kamar Dosar

“Kau dah makan Mar?”
“Belum, sudahkah kubilang sekarang ini tak ada lagi benda makan yang bisa kautelan, tak usahlah sampai aku benci dengan apa yang kau tanya itu.”
Aku memang mendengar kata-kata itu seakan dia membuka mulut besarnya dan segera mencekikku membuat perutnya kenyang kali ini. Sejak itu aku diam dan sedikit menjadi penakut dengan Kamar. Tapi tak bisa juga kalau aku tipukan apa yang aku kena dalam perut, lapar. Bukankah sudah biasa aku mengadu padamu,Mar?
Seharian belum ada yang makan antara perut Kamar dan aku, nasi segala sayur-mayur ikan-mengikan, buah rambut, betik , buah sawo, pelam , menjadi kenangan sudah. Manusia semakin sedikit karena hanya ada dua pilihan kenapa mereka mati, memang sudah takdir mati dengan lapar yang tak berganti kenyang atau sesama mereka memakan salah satu dari yang beradu, dari yang lemah, dari yang tak berhasil ke mana-mana. Memang pandailah bersembunyi dan menahan hidup di sudut maut. Hanya demi pertahanan.
Kamar dan aku berada dalam kamar. Tanpa ada makanan dan minuman nasi perabot rumah tangga sudahlah tak ada, tanpa barang apapun, pakaian sudah tak berbaju dan berseluar tak bercawat dan bersinglet. Ya, saling tubuhnya lagi yang tersisa.
“Sar, jika seluruh manusia dan orang-orang di sini hancur lebur dimakan atau mati sendiri, apakah kau juga sepeeti mereka di luar sana, memakanku?”
“Tak pernah aku tahu tentang niat di hati beberapa masa lagi, kerjaku hanya menjagamu dan memberi semangat tak berbatas, setidaknya kau bisa menguburkanku sebagai tanda terima kasih buatku atas penjagaan itu. Dengan itu aku bisa bisa lebih kenyang”
“Lantas apa yang membuat kita terkurung di sini?”
“Tak ada yang kita miliki lagi sar, jangankan seperempat butir nasi, sebenang baju sudah tak terduga hilangnya. Kalau kita keluar mencari kekenyangan yang ada hanya penemuan mayat bisa saja kita selanjutnya. Makanlah apa yang ada di sini, masih ada angin, cahaya gelap atau terang, bayang-bayang, dan masih ada minumnya air mata, liur, keringat, darah, dalam bentuknya cair.”
Kamar di sudut kamar kanan dan aku disudut kamar kiri memandang ke depan sesekali menunduk dan menjauhkan mata. Seperti kotak kosong itulah rumah mereka, suara-suara di luar adalah musik iringan kematian dengan derap langkah nan nafsu mencari mangsa.
Sudah semakin menipis. Kerjaku dan kamar saling menghidupkan. Nasib inikah jadi orang yang lupa akan semua kembali? Orang-orang di luar sana terus kelahi berebut hati yang masih berdetak, tubuh yang alamak aduhai, sebagai santapan.
Dedaunan lari dan tanah sembunyi. Sementara ini aku dan Dosar mencari jalan keluar, pintu kayu di kamar ini seakan dibaliknya adalah mulut mulut menganga dengan liur yang berjijih dan taring yang tajam mencakar-cakar daun pintu. Datang terus menghantui manusia telanjang dan berbintik bercak darah sehabis makan di luar sana. Memang aku di dalam tapi aku tahu keadaan luar sana karena lewat jendela kamar dengan sengaja mereka lewat dan sedikit banyaknya darah memercak di jendela. Namun tak akan aku lihat lagi karena sudah di lapis dengan papan papan penahan.

***
Di ujung-ujung papan masih ada makhluk, semut hitam yang berjalan bertemu dengannya saling menyapa, mungil cantik molek comel . Apa kiranya ini menjadi santapan bagi kita kawan? Cukuplah sebagian untuk Dosar dan aku dalam hitungan jam.
“Makanlah, Sar. Agar kaukenyang.”
“Aku tak mau memakan makhluk hidup ini, Mar.”
Tentulah aku bertanya kenapa ia tak mau memakannya, itu kan makhluk hidup yang tersisa di dalam rumah itu selain kami berdua. Sudah membodohi diakah aku ini, lihatlah bagai seorang kekasih yang sangat tak sudi bila raut muka yang disayang kesakitan. Tapi bodoh!.
“Apa kaupikir kita membiarkan mereka selama ini di rumah hanya untuk pada akhirnya dimakan dan hanya nyaman di diri kita saja? Tidak!”
“Lalu tak ada lagi kan yang bolehlah kita telan dan sedanglah berjalan untuk esok di kala kutemukan barang yang lebih layak bisa kita makan bersama.”
“Sudahlah. Waktunya kita memberikan apa yang mereka butuhkan, hidup!”
“Kita juga butuh hidup tak? Baik-baik kau cakap.”
“Ya, dapat kautengok sekitarmu, ada kayu,papan, bantal, tikar getah , lemari, bunga kertas. Itu lebih layak kautelan dibanding mereka yang hidup!”
“Tak perlu kauajarkan aku perihal itu kawan, betulkan dulu mukamu.”
Percakapan itu menjadi malapetaka rupanya. Sehari penuh tak selesai saling menghantam dan bertikai. Lempar sudut kanan sudut kiri, koyak baju satu sama lain, menumbuk perut, muka, ulu hati, menendang segala yang bisa ditendang. Dua minggu tak ada yang mengalah dan terlebih mati, adu-aduan semakin terjadi, sengit dan sulit berakhir. Apa yang barang mereka jumpa itulah senjata, lantak geraknya menghancurkan geram hatinya mendendam. Hancur ke mana-mana. Tak berbentuk mukanya dan mukaku.
Kurang daripadanya sehari lagi sudah genap pada dua bulan pertempuran sengit yang tak terselesaikan dengan tenaga. Lelah, terkapar. Aku berada di sudut kamar, begitupula ia demikian. Perut lapar.
“Biar aku memakan pecah belah dan benda yang juga telah atau belum menghantammu, semut itu butuh darimu kehidupan.”
“Kau jangan jadi orang-orang di luar di sana, Mar. Memakan tak hingga daging Manusia dengan kemaruk. Demi hidup lebih lama dan tak punya lagi pilihan, Mar”
Prak! Pintu terbuka. Manusia-manusia itu datang dengan mata tajam, bibir berliur tak henti. Menghantam pintu kamar. Masuk dan mencakar-cakar angin menuju kami berdua. Sebelum sampai kujemput manusia itu dan mengeluarkannya dengan bantuan Kamar. Papan-papan memalang-malang pintu, jendela segala yang berkontak ke luar segera terkunci. Terdengar suara-suara yang tak henti memekik dan kadang meraung. Manusia apa itu?.
Ketakutanku berbias pada Kamar pula, tersudutnya dia. Ketakutan itu berbuah lapar yang tak bisa ditahan lagi. apalagi yang ada di dalam telah disantap, darah-darah mulai kuhirup, baju dan seluar, singlet dan cawat , santapan-santapan tak terkira. Lalu kucari semut dan hilang.

***
Dengan telanjang dan berbalut bulu-bulu, sehelai dua helai kucabut dan kumakan sebagai cemilan. Masih berada dalam tempat yang berujung tombaknya ke mana. Tiada nakhoda, alamat kami tak berbadan lagi. kurus semakin kurus dan sekali, tulang-tulang berbentuk sudah dan semut seekor datang mata aku dan Kamar saling memandang.

Destriyadi Imam Nuryaddin
Jakarta, 15 Oktober 2016

1. Betik merupakan bahasa Melayu yang sama artinya dengan Pepaya secara umum
2. Pelam adalah mangga
3. Memakai celana
4. cantik
5. Tikar getah merupakan tikar berbahan getah yang biasa digunakan dirumah berlantai kayu atau rumah panggung, bermotif macam-macam.
6. kolor
7. Alamat = tanda

Cepren : Mereka Disini, Kak!

Posted on

Mereka di Sini, Kak!

Sepanjang jalan aku mencoba tak memandang sedikit pun bila kutemukan orang yang aku kenal, membuatku sedikit risih dengan perkataan mereka dari hari ke hari, lalu ke lalu, kalau enak sebuah ucapan tentu enak yang ditelan tenggorokan dengan terbuka menerimanya.
“Dek, kamu kok berjalan sendiri saja?“ Seorang wanita yang memegang pundakku dari samping dengan muka yang terlihat sedih entah memang sedikit mengejekku atau seperti itu mukanya.
“Tidak, tidak, aku selalu bersama ibu dan ayahku, jangan pegang aku”
Wanita itu terhenti dan melepaskan tangan kirinya yang putih dari pundakku, menambah keheranan dimukanya yang bertanya-tanya kenapa dan apa yang terjadi denganku. Aku mempercepat langkah dan menjauh dari wanita muda setelah aku terkejut dan tak sengaja memandang wajahnya yang lumayan cantik berbadan tinggi yang se-ukuran dengan antara bahunya dengan kepalaku, apalagi jilbab hitam yang panjang menutupi auratnya tanpa gambar dan corak yang menarik.
“Mau ke mana kamu Dek, jangan sendirian”
Suara yang indah itu membuatku menjadi mendengar kata-katanya yang kurasakan sebuah perhatian tapi aku tak mau tergopoh-gopoh menanggapi semua itu, aku takut dia menculikku dan meminta tebusan kepada ayah dan ibuku.
“Kenapa wanita itu berani sekali memegangku dan mencoba berbicara kepadaku, apa dia tidak malu dengan ayah dan ibuku yang selalu menjagaku melihat apa yang dia lakukan. Sebenarnya aku ingin tiada orang yang dimarahi ayah dan ibuku”
Di pepohonan itu aku berbicara sendiri hanya sendiri dengan pohon yang mati menerimaku apa adanya dengan seperti buruk dan baik diriku. Sambil memakan bekalku yang setiap hari selalu kubawa tak pernah berganti lauk tetap sama dan aku selalu suka, ayah dan ibuku selalu memasaknya sejak lama mungkin hanya tempat makanan saja yang berbeda. Aku terus makan lahap hingga kurasa cukup untuk berhenti makan karena ketika kuberlari nanti dikejar orang yang selalu menanyakan hal yang sama seperti wanita cantik tadi tanyakan, perutku sakit dan aku terpaksa berhenti hingga dia berhasil mendapat jawaban yang tepat.
Kota ini sungguh panas, seperti yang kuketahui kota yang jarang terkena hujan lebih sering pancaroba, kulit-kulit hitam, kalau berjualan payung aku rasa pasti laris. Dengan pakaianku yang biasa saja di trotoar aku berjalan mengambil yang paling tepi agar tidak berbenturan dengan orang lain. Menuju ke tempat jualanku setiap harinya, dagangan buku yang selalu terjual dua buku setiap hari tak pernah lebih terkadang orang-orang menawarkan harga tanpa peka dengan keuntungan yang mesti aku dapatkan.
“Ayo bapak-bapak, ibu-ibu silahkan lihat bukunya dijamin pasti murah dan berkualitas.”
Mengulang kalimat itu melulu dengan nada yang tinggi, lelah memang pasti ada di hatiku tapi membuat para penikmat bacaan tidak akan tertarik dengan kelelahanku. Karena tidak ada yang mau menggantikan aku disini jadi aku berkuasa dengan apa yang aku bisa kerjakan.
Sebulan yang lalu aku sudah mendapatkan hasil dagangan yang tidak begitu bagus tapi tetap kutabung setiap waktu untuk membuat ibu dan ayahku dapat berbicara dengan lancar mereka yang sebenarnya bisu, tapi dia mengetahui apa yang aku kerjakan di tempat daganganku, selalu aku sampaikan apa yang terjadi padaku setiap hari termasuk hari ini mungkin aku akan menceritakan seorang wanita muda yang memegang pundakku.
“Dek, ternyata kamu disini?”
Wanita itu muncul dengan luwes mengejutkanku untuk kedua kalinya, darimana ia datang dan ingat dengan mukaku yang hitam berambut hitam juga.
“Bukan, bukan” Aku menjawab spontan karena aku tak siap kedatangannya.
“Kamu yang tadi saya temukan di seberang jalan kan? Mana ayah dan ibumu?”
“I, iya. Kan sudah kubilang ayah dan ibuku ada, mereka selalu ada kok, tidak usah seperti itu.”
“Oh iya? Lalu kenapa tadi kakak melihatmu sendiri?”
Aku sudah tidak tahan dengan apa yang dia ujar seakan ingin menguatkan perasaannya untuk mendapatkan jawaban dariku.
“Maaf, tokonya sudah tutup. Aku harus pulang.”
Dengan cara yang tidak sopan dan secara tidak langsung menyuruhnya untuk keluar dari toko dan pergi. Ayah dan ibuku akan curiga bila kuterlihat dekat dengan dia nanti, tak ingin aku membuat ayah dan ibuku marah walaupun bisu
“Kenapa dia selalu mengikutiku, harus dengan cara apa aku lari darinya, menjahatinya tidak boleh, kemana ini?”
Menutup pandangannya dari kepergianku yang saat itu sedang berada di pasar baju dan makanan tentu banyak orang dan banyak pakaian yang hampir sama dengan mudah aku menyelinap. Tapi aku tidak melihatnya lagi wanita berkerudung hitam yang menawan itu, bisa jadi dia lelah dan cuek denganku.
“Hei, Dek. Tunggu, kakak ingin bicara denganmu”
Keluar dia dari gerombolan orang-orang yang sedang berjalan, langkah yang laju mengejar aku yang terpingkal-pingkal mencari jalan.
“Aduh, kenapa bisa dia ada di situ, aku pulang saja bertemu ayah dan ibuku, kuadu dengan ayah dan ibuku, biar dia melihat dan merasakannya”
Orang-orang sekeliling melihatku dari kiri dan kanan, membuatku harus menunduk dan menutup kuping akan pertanyaan mereka tak menghiraukan keheranan mereka kenapa aku berlari menuju rumah penganggapan.
“Kenapa dia berlari ya?” Terdengar sekali. “Mau kemana dia ya?” Di persimpangan itu. “Bukankah dia yang selalu ada di sana itu?”
Segelintir pertanyaan yang tak sempat aku hilangkan dari ingatanku, semakin kencang dan mengeluarkan tenaga tercepat. Sementara di belakangku wanita itu terus mengejarku dengan susah payah dengan rok yang dia pakai. Begitu tinggi rasa penasarannya dan kenapa harus aku yang menjadi objek penasarannya.
“Hei Dek, mau kemana kamu?”
Dia terus mengujarkannya, kali ini dengan kencang dan keras sekali, berharap aku berhenti dan menunggunya sampai untuk menjawab pertanyaannya. Risih dan jenuh aku mendengar kata-kata itu, aku ingin dia pergi dan ketenanganku kembali lagi, tanpa wanita.
“Sudahlah, pergi sana, aku mau pulang”
Aku membalas pula dengan keras jawabannya dengan setengah memandang yang hanya kelihatan sedikit sekali tubuhnya yang semakin lelah. Aku terus berlari dengan harapan yang sama dan tak pernah berubah, nanti akan aku adu dengan ayah dan ibuku saja.
Tidak jauh didepan ada masjid yang tak begitu besar, tak indah, dan tak begitu ramai diwaktu adzan berkumandang. Aku datang dan segera berlindung di sana mencari tempat yang sangat aman bertemu dengan ayah dan ibuku yang pasti mendengar panggilanku.
Sementara wanita itu terhenti memandangku dari tidak terlalu jauh karena aku masih melihat jilbab panjang dan rok menutupi segala tubuhnya memegang sepohon kelapa sebagai sandaran mengistirahatkan tubuh, aku rasa berhasil memberhentikannya dan yang aku rasakan dia akan memutar badannya dan berkata sia-sia yang ia lakukan.
“Akhirnya dia berhenti, pasti dia akan pergi, syukurlah”
Sambil napasku keluar masuk dengan cepat yang tak terkira kelelahan juga ternyata.
Apa yang terjadi, dia melangkah kedepan mendekat ke mesjid dan berjalan mengarah tetap di depan ku, memasuki gerbang masjid. Aku tak tau kemana lagi akan lari, seperti terkepung dan dia seakan mengancamku dalam raut muka yang penuh pengharapan.
Ku meraba dinding masjid dan seperti ingin menembus dinding itu agar dapat menghindar. Mencakar dinding dengan ketakutan dan mata-mata tertutup oleh tangan yang tak begitu besar sehingga masih terlihat bayang-bayangnya.
“Di mana rumahmu? Kakak ingin bertemu ayah dan ibumu?”
“Kenapa kau ingin sekali mengetahuinya, sedangkan kita tak pernah bertemu, tak pernah tahu siapa namamu, tapi mengapa begitu penasaran dengan aku? Bisakah kau pergi saja”
“Dek, kakak sudah melihatmu berhari-hari di jalanan, tanpa sendal, tubuh yang kumal, menjauh dari orang-orang tapi kakak telah sejauh ini mengikutimu. Katamu toko buku yang sudah tutup itu hanyalah tempat-tempat bau tapi kakak berani datang kesitu untuk mengajakmu menjauh dari tempat yang bau itu, tumpukan sampah-sampah.
“Itu toko, bukan sampah”
“Itu hanya khayalanmu saja. Kamu pergi berlari menjauh melewati selokan-selokan yang basah berbau itu, kakak mengikutimu dan ingin mengeluarkanmu dari selokan, tapi kamu begitu kencang berlari, suara kakak pun tidak kamu dengarkan lagi”
Aku merasakan keheranan yang mendalam, kapan aku melakukan itu. Sepertinya aku hidup layaknya orang yang biasa-biasa saja.
“Aku tidak pernah melakukan itu, jangan berbohong kepadaku. Aku tak seburuk itu”
“Iya, memang seperti itu yang terjadi, orang-orang melihatmu, kasihan melihatmu, kadang tertawa akan kelakukanmu sepanjang perjalanan tadi. Sudahlah, mana ayah dan ibumu ? kamu tidak bisa kemana-mana lagi, kakak ingin bertemu”
“Buat apa, ibu dan ayahku bisu mana mungkin kamu bisa berbicara dengannya. Atau kamu ingin menghancurkan ibu dan ayahku?”
“Tidak, tidak, katakan saja, kakak ingin memberikan hadiah kepada ayah dan ibumu”
“Apa kamu tidak melihat dari tadi ayah dan ibuku, dia mendengarkan semua pembicaraan kita, dia ada disini, apakah matamu buta”
“Di mana? Kakak tak melihat wajah mereka”
“Aku sedang dipangku oleh ayah dan ibuku”
Wanita itu tercengang dan memikirkan sesuatu yang terjadi dan sedikit menjanggal di pikirannya, melihat sekeliling dan melihat lagi aku yang hanya sendiri hanya duduk dibelakang dinding putih disamping kaca-kaca.
“Kamu tidak sedang dipangku, kamu sendiri Dek.”
“Aku sedang dipangku. Nyaman sekali dipangku oleh ayah dan ibu. Ayah dan ibuku tahu aku sedang kelelahan, dan nanti aku menceritakan semuanya yang terjadi hari ini.”
Firasat yang sangat kuat telah didapat oleh wanita berhijab itu. Keheranannya dengan kata-kata yang diucapkan olehku. Sekelilingnya membuat wanita itu pusing dan tidak menduga siapa sebenarnya ayah dan ibuku. Rumahku ada dibawah masjid ini.
“Jadi ayah dan ibumu tinggal di mana?”
Wanita itu terus memikirkannya apa yang aku ucapkan dan yang aku rasakan, sedangkan yang wujudnya selalu aku pula yang bertanya dimana.

Destriyadi Imam Nuryaddin
Kayu Jati, 27 November 2015